Di tanggal ini, 15 desember 2015, pukul 12.43 siang aku melahirkanmu ke dunia. Tepatnya Team dokter dengan juru bedah dokter Obstetry dan Gineacology, Fatma Ersan, melakukan prosedur operasi caesar terencana, di ruang bedah RS. Nisa, Yenibosna, Bahçelievler, Istanbul.
Kami datang ke RS pagi-pagi sekitar pukul 9. langsung konsul ke ruang operasi,dokter anestesi. Tapi suasana ruang operasi sangat sibuk sehingga dokter anestesi baru bisa menemui kami pukul 11. Setelah wawancara tentang sejarah operasi-operasiku sebelumnya, ada tidaknya alergi obat, ada tidaknya pendarahan berlebih dan sebagainya, kami diminta check-in di ruang perawatan dan bersiap-siap.
Kami naik ke lt. 2 dan suami ke meja resepsionis untuk pendaftaran rawat inap. Aku menunggu di depan ruang praktek dokter obgyn. Sudah siap dengan tas koper ukuran kabin dan keranjang bayi untuk membawa bayi pulang dari rumah sakit nantinya. Ibu-ibu mengangguk dan tersenyum maklum melihat kondisiku yang siap lahiran, seperti domba yang siap dikurbankan hehe..
Suami agak lama dapat kamarnya, rupanya nunggu yang check out dan kamarnya kemudian dibersihkan dahulu. Hari itu luar biasa yang lahiran banyak sekali.
Akhirnya kami masuk ke ruang perawatan di lt. 3, lantai khusus untuk ibu-ibu yang pasca bersalin. Perawat segera datang memberikan gaun operasi dan penutup rambut serta sandal ruangan baru. Akupun sigap ke kamar mandi mengganti baju dengan gaun operasi. Kemudian ketika naik ke bed terasa perut jadi mulas..kayaknya ini mulas karena stress, kemudian aku ke kamar mandi lagi sambil berdoa mulasnya tidak berkepanjangan.
Perawat datang lagi kali ini mau memeriksa kebersihan area yang akan dioperasi. Kebetulan aku sudah siap-siap dari rumah, mandi dan bercukur bersih, sehingga perawat yang sudah siap dengan alat cukur kemudian keluar lagi (sementara itu anak dan suamiku dikeluarkan dulu dari kamar).
Jadwal operasiku pukul 12:00 tapi waktu berlalu dan kami belum dipanggil juga. Fotografer rumah sakit datang menawarkan jasa foto before, during and after surgery, with siblings, dan sebagainya. Kami menolak dengan halus. Boro-boro mikir mau foto-foto. Suami saja tegang bukan main karena tidak ada orang dewasa lainnya yang menjagaku kecuali dirinya sendiri.
Makan siang-pun datang. Dan kemudian bed untuk mengantarku ke R. Operasi datang pula. Aku bertolak ke Ruang operasi tepat pukul 12.30, meninggalkan suami yang sedang menyuapi anak pertama kami, Süleyman, makan siang.
"Kamu biasa berkerudung ya?" tanya perawat sambil mendorong bed-ku. Dan iapun menutupi rambutku dengan selimut. Ketika menunggu lift terbuka, yang kebetulan tepat di samping pintu kamarku, Süleyman yang digendong bapaknya mencium keningku.
Kami sampai di lantai -1. Dengan segala bau-bauan khas ruang operasi. Seperti pengalaman 6 tahun yang lalu, aku pindah ke meja operasi. mereka mengatur infus, kateter. dan menanyakan metoda anestesi yang akan kupakai. Sekonyong-konyong dokterku datang sudah memakai setelan untuk operasi dan penutup rambut. "Jangan khawatir, Lia, kita akan lakukan general anestesi seperti kesepakatan kita" katanya tersenyum lebar. Sebenarnya itu dia sendiri yang minta, karena katanya ingin relaks pas mengoperasi aku, berhubung aku kelebihan cairan amniotik. Tadinya aku malah ingin merasakan metode epidural.
Kali ini tanpa ritual berdoa seperti dulu waktu melahirkan Süleyman, aku langsung disuntik diringi ucapan "iyi uykuylar" alias "selamat tidur dari team ruang operasi. Dan "tak!" akupun tertidur..untungnya tidak untuk selamanya.
Ketika bangun aku merasakan badanku ditarik-tarik, ditusuk, kakiku diikat, kakiku terasa panas. Suara-suara..disusul sapaan "kamu sudah bangun ya?" kemudian "Lia sayang kamu menderita pendarahan parah, mungkin aku terpaksa harus mengambil rahimmu.." itu suara dokterku, Fatma.
Aku belum sepenuhnya sadar. Tapi bisa menjawab "jangan, dok".
"Kami sedang usahakan hentikan pendarahanmu" jawabnya.
Kemudian aku masih bertanya apakah bayiku baik-baik saja.
Lalu percakapan antara mereka sendiri, dan kegiatan mengeluarkan darah secara manual dari rahimku. "Letakkan kakinya seperti ini..ya pelan..pelan.." aku masih mati rasa tapi sudah bisa merasakan sakit. Seorang dokter laki-laki (tadinya aku fikir semua dokter dan dokter anestesi di RS ini perempuan semua) memasang kateter di bahu kananku. Aku merapal ayat kursi dalam hati, penolongku, penguatku selalu.
"Nah ok..." kata suara-suara dari arah kaki-ku.
"Warnanya mulai berubah.."
"Canım, sekarang kamu boleh ke kamarmu, ok" suara dokterku.
Aku dirapikan dan didorong, naik lift, keluar lift dan menuju ke kamar. Sekilas kulihat suami dan anakku ketika aku melintasinya masuk ke kamar.
Aku dibaringkan, infusku, kateterku diatur. Telunjukku dipasang ke kabel yang terhubung ke monitor pengukur saturasi oksigen dan detak jantung. Suami dan anakku masuk berwajah pias. Suami sangat bersyukur aku survive. Kulihat jam, sudah hampir pukul 4 kurang seperempat. Rupanya lama juga aku entah di R. Operasi atau di R. ICU.
Tak berapa lama perawat datang, suami dan anakku dikeluarkan dahulu dari kamar. Dokterku, Fatma, masuk disertai dokter pria yang kulihat di R. Operasi. Rupanya dia dokter anestesi dari Ruang ICU. Ia langsung menjahit posisi kateter di pembuluh aorta-ku, di bahu kanan. Sebelumnya ia menyuntik heparin. Supaya aku tidak kesakitan. Tapi tetap sakitnya terasa menggigit.
Sambil ia menjahit, mereka berbincang tentang transfusi yang sebaiknya mereka beri ke aku. Saat itu aku sedang menerma transfusi darah segar yang baru saja diambil dari dua orang perawat yang menjadi donor darah-ku. Dokterku kemudian pamit dan dokter anestesi masih melanjutkan jahitan dan selanjutnya meminta perawat untuk CT Scan posisi kateternya segera.
Ia keluar dan petugas wanita dengan alat CT Scan portable beroda datang. Dua orang perawatku yang cantik dan lemah lembut bagai malaikat memasang frame dengan hati-hati dipunggungku, dengan susah payah karena aku masih amat kesakitan dan tak berdaya, aku tak 1% pun membantu tubuhku untuk bergerak.
Semua perawatku dan operator keluar kamar untuk menghindari radiasi. Kabel shutter-nya panjang, dijepit pintu dan dipencet dari luar kamar. Aku harus di-scan dari posisi miring juga. Kali ini aku harus miring ke kanan, posisi yang amat susah dengan kondisiku yang kesakitan dan trauma. Walau dilakukan sengan super hati-hati, kesadaran aku langsung drop dan mesin disampingku berkicau.
Para perawat menganggap sesi pemotretan cukup dan aku harus istirahat.
Kami datang ke RS pagi-pagi sekitar pukul 9. langsung konsul ke ruang operasi,dokter anestesi. Tapi suasana ruang operasi sangat sibuk sehingga dokter anestesi baru bisa menemui kami pukul 11. Setelah wawancara tentang sejarah operasi-operasiku sebelumnya, ada tidaknya alergi obat, ada tidaknya pendarahan berlebih dan sebagainya, kami diminta check-in di ruang perawatan dan bersiap-siap.
Kami naik ke lt. 2 dan suami ke meja resepsionis untuk pendaftaran rawat inap. Aku menunggu di depan ruang praktek dokter obgyn. Sudah siap dengan tas koper ukuran kabin dan keranjang bayi untuk membawa bayi pulang dari rumah sakit nantinya. Ibu-ibu mengangguk dan tersenyum maklum melihat kondisiku yang siap lahiran, seperti domba yang siap dikurbankan hehe..
Suami agak lama dapat kamarnya, rupanya nunggu yang check out dan kamarnya kemudian dibersihkan dahulu. Hari itu luar biasa yang lahiran banyak sekali.
Akhirnya kami masuk ke ruang perawatan di lt. 3, lantai khusus untuk ibu-ibu yang pasca bersalin. Perawat segera datang memberikan gaun operasi dan penutup rambut serta sandal ruangan baru. Akupun sigap ke kamar mandi mengganti baju dengan gaun operasi. Kemudian ketika naik ke bed terasa perut jadi mulas..kayaknya ini mulas karena stress, kemudian aku ke kamar mandi lagi sambil berdoa mulasnya tidak berkepanjangan.
Perawat datang lagi kali ini mau memeriksa kebersihan area yang akan dioperasi. Kebetulan aku sudah siap-siap dari rumah, mandi dan bercukur bersih, sehingga perawat yang sudah siap dengan alat cukur kemudian keluar lagi (sementara itu anak dan suamiku dikeluarkan dulu dari kamar).
Jadwal operasiku pukul 12:00 tapi waktu berlalu dan kami belum dipanggil juga. Fotografer rumah sakit datang menawarkan jasa foto before, during and after surgery, with siblings, dan sebagainya. Kami menolak dengan halus. Boro-boro mikir mau foto-foto. Suami saja tegang bukan main karena tidak ada orang dewasa lainnya yang menjagaku kecuali dirinya sendiri.
Makan siang-pun datang. Dan kemudian bed untuk mengantarku ke R. Operasi datang pula. Aku bertolak ke Ruang operasi tepat pukul 12.30, meninggalkan suami yang sedang menyuapi anak pertama kami, Süleyman, makan siang.
"Kamu biasa berkerudung ya?" tanya perawat sambil mendorong bed-ku. Dan iapun menutupi rambutku dengan selimut. Ketika menunggu lift terbuka, yang kebetulan tepat di samping pintu kamarku, Süleyman yang digendong bapaknya mencium keningku.
Kami sampai di lantai -1. Dengan segala bau-bauan khas ruang operasi. Seperti pengalaman 6 tahun yang lalu, aku pindah ke meja operasi. mereka mengatur infus, kateter. dan menanyakan metoda anestesi yang akan kupakai. Sekonyong-konyong dokterku datang sudah memakai setelan untuk operasi dan penutup rambut. "Jangan khawatir, Lia, kita akan lakukan general anestesi seperti kesepakatan kita" katanya tersenyum lebar. Sebenarnya itu dia sendiri yang minta, karena katanya ingin relaks pas mengoperasi aku, berhubung aku kelebihan cairan amniotik. Tadinya aku malah ingin merasakan metode epidural.
Kali ini tanpa ritual berdoa seperti dulu waktu melahirkan Süleyman, aku langsung disuntik diringi ucapan "iyi uykuylar" alias "selamat tidur dari team ruang operasi. Dan "tak!" akupun tertidur..untungnya tidak untuk selamanya.
Ketika bangun aku merasakan badanku ditarik-tarik, ditusuk, kakiku diikat, kakiku terasa panas. Suara-suara..disusul sapaan "kamu sudah bangun ya?" kemudian "Lia sayang kamu menderita pendarahan parah, mungkin aku terpaksa harus mengambil rahimmu.." itu suara dokterku, Fatma.
Aku belum sepenuhnya sadar. Tapi bisa menjawab "jangan, dok".
"Kami sedang usahakan hentikan pendarahanmu" jawabnya.
Kemudian aku masih bertanya apakah bayiku baik-baik saja.
Lalu percakapan antara mereka sendiri, dan kegiatan mengeluarkan darah secara manual dari rahimku. "Letakkan kakinya seperti ini..ya pelan..pelan.." aku masih mati rasa tapi sudah bisa merasakan sakit. Seorang dokter laki-laki (tadinya aku fikir semua dokter dan dokter anestesi di RS ini perempuan semua) memasang kateter di bahu kananku. Aku merapal ayat kursi dalam hati, penolongku, penguatku selalu.
"Nah ok..." kata suara-suara dari arah kaki-ku.
"Warnanya mulai berubah.."
"Canım, sekarang kamu boleh ke kamarmu, ok" suara dokterku.
Aku dirapikan dan didorong, naik lift, keluar lift dan menuju ke kamar. Sekilas kulihat suami dan anakku ketika aku melintasinya masuk ke kamar.
Aku dibaringkan, infusku, kateterku diatur. Telunjukku dipasang ke kabel yang terhubung ke monitor pengukur saturasi oksigen dan detak jantung. Suami dan anakku masuk berwajah pias. Suami sangat bersyukur aku survive. Kulihat jam, sudah hampir pukul 4 kurang seperempat. Rupanya lama juga aku entah di R. Operasi atau di R. ICU.
Tak berapa lama perawat datang, suami dan anakku dikeluarkan dahulu dari kamar. Dokterku, Fatma, masuk disertai dokter pria yang kulihat di R. Operasi. Rupanya dia dokter anestesi dari Ruang ICU. Ia langsung menjahit posisi kateter di pembuluh aorta-ku, di bahu kanan. Sebelumnya ia menyuntik heparin. Supaya aku tidak kesakitan. Tapi tetap sakitnya terasa menggigit.
Sambil ia menjahit, mereka berbincang tentang transfusi yang sebaiknya mereka beri ke aku. Saat itu aku sedang menerma transfusi darah segar yang baru saja diambil dari dua orang perawat yang menjadi donor darah-ku. Dokterku kemudian pamit dan dokter anestesi masih melanjutkan jahitan dan selanjutnya meminta perawat untuk CT Scan posisi kateternya segera.
Ia keluar dan petugas wanita dengan alat CT Scan portable beroda datang. Dua orang perawatku yang cantik dan lemah lembut bagai malaikat memasang frame dengan hati-hati dipunggungku, dengan susah payah karena aku masih amat kesakitan dan tak berdaya, aku tak 1% pun membantu tubuhku untuk bergerak.
Semua perawatku dan operator keluar kamar untuk menghindari radiasi. Kabel shutter-nya panjang, dijepit pintu dan dipencet dari luar kamar. Aku harus di-scan dari posisi miring juga. Kali ini aku harus miring ke kanan, posisi yang amat susah dengan kondisiku yang kesakitan dan trauma. Walau dilakukan sengan super hati-hati, kesadaran aku langsung drop dan mesin disampingku berkicau.
Para perawat menganggap sesi pemotretan cukup dan aku harus istirahat.
Comments
Post a Comment