Suka Duka Seorang Istri

Pembawaanku memang kurang supel. Walau lumayan rajin senyum, tapi hasil belum maksimal untuk membuahkan hasil teman akrab. Entah wajahku sangar atau angker, sejauh ini hanya dua teman yang aku punya, sesama wali murid di sekolah si Sulung. Yang pertama Emriye Abla, seorang nenek yang selalu mengantar cucunya, Muhammet Talha. Satu lagi wanita Kyrgystan sebaya aku (apakah 4 tahun lebih muda dariku boleh dibilang sebaya?), ibunya İbrahim.

Baik dengan  İbrahim maupun Muhammet Talha, anakku tidak sekelas. Baik selama TK Nol Besar maupun sekarang di kelas satu SD. Anakku malah sekelas dengan tetangga satu gedung, pintu no.7, Emirhan.

Walau satu gedung dengan Emirhan dan neneknya yang selalu mengantar-jemputnya, keakraban kami biasa saja. Entah kenapa kok neneknya Emirhan dingin-dingin saja padaku. Malah Emriye abla, neneknya Muhammet Talha yang selalu hangat dan pernah kuundang makan siang di rumah sekali.

Dengan wanita Kyrgyz itu, selama setahun penuh masa sekolah di TK keakraban kami belum meningkat, sampai dengan ketika beberapa hari yang lalu kuundang ke rumah setelah sekolah usai, dan kami ngobrol-ngobrol sambil ngeteh dan makan siang a la sarapan.

Keadaan rumahku sederhana, tapi aku tidak pernah minder. Ya keadaannya seperti ini, untuk apa minder. Lebih penting lagi hidup bebas tidak punya hutang cicilan barang-barang mewah hanya demi gengsi atau untuk menyamai isi rumah tetangga.

Baik Emriye abla, yang dulu pernah datang maupun wanita Kyrgyz ini, terlihat biasa saja melihat kondisi rumahku yang polos dan apa adanya. Santai dan ngobrol apa adanya tanpa sibuk mengomentari apa yang tak ada.

Di akhir kunjungan dia mengundangku untuk memberinya kunjungan balasan, "tapi tunggu karpet-karpetku datang dari tukang cuci, ya", ujarnya, seraya menerima kenang-kenangan dariku satu kresek cabe dan lemon dari kampung suami.

Sepenggal kisahnya sudah kuketahui. Dia bertukar kisah ketika menunggu anak-anak kami kejar-kejaran di halaman sekolah waktu TK dulu. Madina namanya, usianya 32 tahun. Anaknya dua lucu-lucu sekali, keduanya laki-laki. "Suamiku orang Kurdi, terkadang ada yang alergi mendengar suamiku Kurdi.." tuturnya. Konon mereka bertemu dan menikah di Kyrgystan ketika suaminya kuliah disana. Dia sendiri guru geografi di SMA lokal. Kini tidak bekerja, dan mengutarakan niatnya ingin bekerja seraya menanyakan bagaimana cara melakukan penyetaraan ijazahnya padaku. Kucoba jelaskan berdasarkan pengalamanku menyamakan ijazah dulu (yamg kini tak terpakai).

Ia berjasa padaku, ketika aku hamil Sümeyye dulu, dan Süleyman perlu kaos putih lengan pendek untuk acara sekolah, aku menitip beli padanya. Suaminya yang mengantarkan ke sekolah. Aku tahu suaminya yang mana, seorang pria biasa dengan postur tak begitu tinggi (kontras dengan istrinya yang semampai), rambut yang menipis, usia 30-an. Kurasa diapun tahu aku siapa, selain wajahku angker, juga tak ada duanya (wajah Indonesia, pasti beda, kan?).

Siang itu ia rapi dengan ferace (gaun luaran) hijau daun dan scarf senada. Mencegatku di gerbang sekolah. "Hari ini ke rumahku ya?" tanpa ampun dan kuiyakan saja. Kamipun beriringan ke rumahnya yang juga tak jauh dari sekolah. Rumah kami sama-sama dekat dengan sekolah, hanya beda sisi saja.

Tak kusangka rumahnya di lantai teratas, tanpa lift kami naik ke lantai 6. Dalam hati diam-diam bersyukur rumahku di lantai 3, walau juga tanpa lift. Sampai di lantai 6, "nefes-nefese" kalau dalam bahasa Turki, alias terengah-engah, kami masuk ke rumahnya. Sama juga dengan rumahku, sederhana. Bedanya rumahku lebih banyak dapat cahaya matahari, rumah dia agak suram sedikit, tapi kondisinya baik.

Aku duduk di sofa setengah lingkaran sementara anak-anak bermain di kamarnya İbrahim. Temanku segera memasak Çay (teh Turki) dan menghangatkan sesuatu yang ternyata lahmacun. Kami makan dan minum sambil ngobrol, yang adalah lanjutan ceritanya yang dulu pernah diungkapkannya kepadaku, cuma sekarang versi lengkapnya.

Sejak menikah di tanah kelahirannya, lalu mereka datang ke Istanbul dan tinggal dengan orang tua suaminya di daerah Bağcılar. Di rumah itu ada ibu mertua, ayah mertua, dan dua adik laki-laki suaminya. Ibu mertua masih aktif bekerja di konveksi, sedangkan ayah mertua setengah invalid karena sakit gula. Suaminya segera bekerja dengan kakaknya yang membuka usaha percetakan.

Dimulailah hari-harinya yang kurang menyenangkan. Kendala bahasa hampir tidak ada karena bahasa negaranya dan bahasa Turki sangat mirip. Tak berapa lama juga dia sudah lancar berbahasa. Namun, menjadi satu-satunya orang yang ada di rumah, pekerjaannya tentu saja cukup berat. Dalam sehari dua ronde mencuci baju. Walaupun dengan mesin cuci, tapi tentunya ada pekerjaan memilah, menjemur dan menyeterika untuk baju orang serumah. Mengurus ayah mertua yang sangat "picky eater", berbelanja dengan membawa sekian banyak kantong kresek supermarket, dan memasaknya untuk seluruh penghuni rumah. Belum lagi bersih-bersih rumah.

Ketika weekend hampir pasti kakak-kakak ipar wanita datang berkunjung dengan seluruh keluarganya untuk makan malam. Dia kepayahan memasak dan beres-beres rumah. Hingga akhirnya dia tak tahan juga. Mereka selalu yang datang sedangkan dia tidak pernah diundang ke rumah mereka. Dia protes dan sebagai hasilnya ada sedikit perubahan pada siklus akhir mingguan itu.

Kecapekan membuat mata minusnya bertambah drastis, belum lagi rematik yang mulai menyerang di usia baru 29 tahun. Dia memohon ibu mertuanya untuk berhenti bekerja, toh sebenarnya tidak ada kekurangan materi. Ia memintanya untuk membantu pekerjaan rumah. Akhirnya ibu mertua mengabulkan dan si teman ini bisa bernafas lega.

Namun tetap saja pekerjaannya banyak dan dia lelah lahir bathin. Tiga tahun dijalaninya dengan sabar sambil momong anak. Dicobanya meminta kepada suaminya untuk mengontrak rumah pisah dengan orang tua, yang kemudian dikabulkannya, dan kini sudah tahun ke-4 dia pisah rumah dengan mertua. "Sekarang hidupku sangat nyaman" tambahnya.

Suaminya, walau yang berpendidikan paling tinggi, tapi paling tak berpunya dibanding saudaranya yang lain, yang sudah mulai bekerja sejak usia 15 tahunan. Mereka kini memiliki usaha sendiri, rumah dan kendaraan. Seakan waktu lebih penting dipakai bekerja dibandingkan belajar. Atau jenis pekerjaan dan pendidikannyalah yang tidak berjodoh?

Keluarga suaminya walau dulu mempergunakan tenaganya dengan "sangat baik", rupanya memang tidak jahat, sebenarnya. Ibu mertuanya yang tak bisa makan tanpa daging, selalu memotong kambing atau domba untuk supply satu bulan, dan dia selalu dibagi cukup banyak. Saudara-saudaranya urunan membelikannya mesin cuci piring, ketika ia mulai belajar Al-Quran di langgar dekat rumahnya dan tak punya banyak waktu untuk mencuci piring.

Ketika bercerita, tak sedikitpun wajahnya bersedih, apalagi sampai berair mata. Sepasang mata sipitnya tetap berbinar ceria dan senyum nampak selalu menyertai setiap tutur katanya. Aku manggut-manggut sambil menghabiskan 3 gelas teh dan menyusul secangkir kopi.

Aku pamit setelah shalat ashar, disusul perjalanan balik menyusuri 6 lantai tangga turun. Berhari-hari setelahnya Süleyman masih saja menanyakan kapan kita ke rumah İbrahim lagi? kapan Anne mau ke dokter gigi dan aku bisa main sama İbrahim? Asal tahu saja, bukan karena İbrahimnya, tapi karena tabletnya İbrahim, yang katanya "glitchy".

Hidup tak seempuk donat, yes?

Comments