Gestational Diabetes dan Pendarahan Hebat Ketika SC ke-2 (Bag. 2)

Saya terbangun diantara hiruk pikuk dokter-dokter dan perawat yang sedang melakukan tindakan-tindakan terhadap tubuh saya. “kamu sudah bangun, Lia?” Tanya dokterku

“Sudah dok” namun kututup lagi mataku karena lelah dan berbagai perasaan aneh bercampur aduk.
“Kamu pendarahan hebat dan kami mungkin terpaksa harus mengangkat rahimmu..” lanjutnya.
“Usahakan jangan, dok”
“Ya, kami sedang berusaha” Ujarnya.
Saya rasakan seseorang memesang sesuatu di bawah bahu kanan saya, terasa sakit menggigit. Kaki terasa panas dan terasa ada yang mengikat pergelangan kaki. Lengan dan paha terasa ada yang nusuk. Diantara segala aktifitas itu, anehnya fikiran saya tetap tenang dan saya sempat bertanya kondisi bayi yang saya lahirkan yang dijawab baik-baik aja oleh dokter seraya tak acuh.
“Angkat sedikit pantatnya” pintanya, dan kemudian terasa tangan dokter masuk untuk mengeluarkan darah dari rahim”. Terasa sakit namun segala rasa sakit ini entah kenapa bisa saya tolerir, hal mana kemudian dipuji dokterku ketika saya datang untuk kontrol pasca 40 hari.
Dalam hati saya merapal ayat kursi sebanyak 7 kali sambil memohon kepada Allah untuk diselamatkan. Tak lama kemudian sayau dirapikan dan dokter mengatakan saya boleh ke kamar perawatan. Dengan bebal saya bertanya apakah betul saya akan ke ruangan perawatan? “iya” jawab dokter dan perawat disekeliling bed. Terasa bed didorong dan masuk ke dalam lift, tombol lift ditekan, keluar lift, dan saya lihat sekilas suami dan anak sulung saya. Perawat memindahkan saya ke bed ruangan kemudian pergi keluar membawa bed dari R.O.
Suami dan anak saya masuk untuk melihat saya. Terlihat wajah suami saya pucat sekali dan dia mengutarakan ketautannya selama menunggu saya keluar dari R.O yang ternyata memakan waktu hampir 4 jam. Saya lihat jam di dinding menunjukkan pukul 4 sore lebih. Mungkin tidak selama itu saya di R.O, saya rasa saya lama juga di dalam ICU sebelum akhirnya bisa masuk Ruang Perawatan.

Saya tersambung dengan infus di tangan kiri, transfusi darah segar ditangan kanan, dan jari tengah kiri tersambung ke alat untuk memeriksa kondisi oksigen darah saya. Badan saya masih dibalut gaun operasi. Suami mengutarakan ketakukannya saya meninggal di meja operasi dan kebingungannya untuk menceritakan ke anak sulung kami jika sampai hal itu terjadi. Dia juga bercerita kalau dirinya sudah khawatir sekali karena menunggu begitu lama.
Bayi sudah dikeluarkan di menit ke-13 dan dia sudah melihat bayinya di ruang bayi. Tapi kenapa ibunya belum juga keluar? Anak yang sulung tinggal di kamar main game di HP. Ia mendesak para perawat untuk dipertemukan dengan dokter dan akhirnya dokter menemuinya di Ruang Perawatan dan menyatakan kondisiku sangat buruk karena pendrahan yang sedang diupayakan untuk dihentikan.Dokter juga menyatakan ada kemungkinan rahimku perlu diangkat.
Tak selang berapa lama suami dan anakku diminta keluar dari kamar oleh perawat ruangan, kemudian dokterku dan seorang dokter pria berambut keriting yang kemudian ku ketahui adalah dokter anestesi dari ruang ICU datang dan segera melakukan tindakan membenahi kateter di pembuluh darah besar yang ada di bawah bahu kananku. Dia menyuntikkan heparin untuk pemati rasa dan kemudian mulai menjahit di sekeliling kateter yang dipasangnya. Rupanya untuk berjaga-jaga jika kondisiku memburuk. Dalam pada itu entah kenapa aku tidak sekalipun merasa takut mati.
Sambil melakukan penjahitan dokter ICU dan dokterku berdiskusi dan ia menyarankan dokterku untuk memberikanku transfusi hemoglobin, sedangkan saat ini aku sedang diberi transfusi darah segar. Setelah selesai dengan jahitannya, mereka berdua keluar dan kemudian suami dan anakku boleh masuk lagi.
Baru juga beberapa menit mereka berdua keluar, pintu diketuk lagi dan perawat masuk beserta seorang operator X-ray portable yang menyorong alat-nya sambil membawa alat segi empat seperti pigura yang saya duga semacam negative film untuk foto X-ray nya. Badan saya yang masih paralyzed diangkat secara hati2 dan piguranya diletakkan di bawah punggungku kemudian alat X-ray-nya disorongkan dan mereka berdua keluar dan pintu ditutup, kabel dan tombol-nya dilewatkan dari celah pintu. Kemudin dari balik pintu operator menekan tombol-nya dan mereka berdua masuk lagi untuk mengambil foto X-dan respon tubuhku yang hampir tidak ada kekuatan karena rasa sakit yang luar biasa.

Comments