Sudah sering saya ceritakan secara lisan kepada siapa saja tentang peristiwa di musim dingin tahun lalu yang cukup mencekam bagi kami sekeluarga. Yaitu waktu saya menjalani SC ke-2, tepatnya 15 Desember 2015. Namun baru kali ini saya menuliskannya.
Dua minggu sebelumnya saya mengalami pendarahan di usia 36 minggu dan mendapat perawatan intensive selama 1 malam. Ternyata saya mengalami diabetes kehamilan yang terlambat diketahui dan mengakibatkan cairan amniotik saya terlalu banyak diatas normal. Waktu itu saya segera diperiksa di ruang bersalin dan denyut bayi saya segera dimonitor dengan NST (Non Stress Test).
Saya dirawat sebagai pasien diabetes dibawah pengawasan dokter ahli penyakit dalam. Selain denyut jantung bayi saya selalu di-cek dengan NST, saya juga selalu diperiksa gula darah sebelum dan sesudah makan. Selain itu, saya juga mendapatkan suntikan steroid untuk menguatkan paru-paru bayi saya.
Semalam di rumah sakit saja rasanya bagai setahun. Apalagi kami tidak memiliki kerabat sama sekali di Istanbul, sehingga anak sulung kami yang berumur 6 tahun juga terpaksa dibawa bermalam di RS dan tertidur seadanya di sofa. Untungnya ketika dokter SpOg saya visit di pagi hari beliau mengatakan kondisi kehamilan saya boleh diteruskan untuk 2 minggu lagi demi kematangan paru si bayi.
Saya masih ingat ketika itu sabtu pagi. Akhirnya kami check out setelah mendapatkan petunjuk tatalaksana diabetes saya dari dokter ahli penyakit dalam. Saya harus membeli alat periksa gula darah dan diajari cara menggunakannya, juga diberi tabel untuk merekam catatan gula darah saya. Untungnya diabetes saya bisa dikontrol dengan diet dan tidak perlu insulin.
Selama satu minggu penuh saya disiplin diet ketat sesuai dengan list yang diberikan dan rutin periksa gula darah sebelum dan sesudah makan. Ternyata gula darah melonjak kalau saya mengkonsumsi nasi putih! jadi memanglah nasi putih itu bahaya sekali. Baiknya diganti bulgur atau roti gandum utuh.
Ketika visit minggu ke 37 lebih beberapa hari, kalau tidak salah itu hari jumaat juga, dokter langsung menjadwalkan operasi hari selasanya. Dan kami segera mematuhi prosedur untuk periksa darah-yang ternyata tidak murah walau sudah menggunakan asuransi. Kemudian kami bersiap-siap di rumah untuk tinggal di rumah sakit. Tas sudah saya persiapkan dari jauh hari, kemudian keranjang untuk membawa bayi dari rumah sakit ke rumah, baju ganti anak sulung dan ayahnya juga tak lupa saya siapkan.
Ada harapan saya yang lain, yaitu ingin terlihat manis pasca operasi, makanya saya persiapkan daster baru yang cantik, bando, dan mantel kamar. Sayangnya harapan saya tidak sesuai kenyataan, karena alih-alih menjalani pasca operasi yang damai dan nyaman, saya harus menghadapi serangkaian tindakan medis dan rasa kesakitan yang luar biasa.
Kami tiba pukul 8 pagi dan langsung ke R. Operasi untuk bertemu dokter anestesi. Ternyata dokter anestesi sedang terlibat dalam tindakan operasi yang rupanya cukup rumit sehingga kami menunggu lama sekali. Ada sekitar 1 jam lebih kami menunggu. Dokter anak keluar-masuk ke R. Operasi, yang kemudian menjadi dokter anak kami juga.
Seorang gadis datang dan menangis di depan pintu operasi. Suami saya yang selalu tenang berseloroh "Wah, kalau kamu nangis begitu, apa kabar kami yang masih menunggu giliran?" si gadis pirang itu kemudian bercerita bahwa kakaknya sedang menjalani operasi caesar di dalam dengan bayi kembar dan ada sedikit komplikasi. Kami menghiburnya sebisanya, dan akhirnya kesempatan kami bertemu dengan dokter anestesi pun tiba.
Dokter melakukan tanya jawab rutin, seperti: apakah aku pernah operasi sebelumnya, apakah aku punya penyakit tertentu, apakah aku punya masalah dengan pembekuan darah, dan sebagainya. Kamipun sekaligus memutuskan bahwa teknik anestesi yang kami pilih adalah general anestesi, walaupun tadinya saya sangat penasaran dan ingin merasakan spinal anestesi.
Namun karena ObGyn saya menginginkan general anestesi, dengan alasan cairan amniotik saya yang diatas normal, dan dia ingin ketenangan dalam mengoperasi saya tanpa adanya saya yang sadar dan ketakutan, akhirnya saya setuju, yang kemudian saya syukuri setelah apa yang saya alami memang tidak memungkinkan untuk anestesi spinal. Walaupun misalnya saya mendapatkan anestesi spinal, komplikasi yang saya alami sewaktu dioperasi tetap akan membuat dokter anestesi membuat saya "tidur".
Beranjak dari situ, kami naik ke lantai tiga, yaitu bagian ruang-ruang perawatan bersalin. Suami saya check-in untuk ruang perawatan saya, sementara saya menunggu. Ternyata hari itu yang melahirkan luar biasa banyak dan akibatnya kami harus menunggu satu ruangan untuk dibersihkan dan dipersiapkan. Saya menunggu di depan R. Praktek seorang dokter dengan koper cabin dan keranjang bayi. Orang-orang yang melihat tersenyum dan menunjukkan simpati. Mereka sudah pasti bisa menduga kalau saya ini bagai hewan kurban yang menunggu disembelih, hehe..
Akhirnya kamar siap dan kami diantar ke kamar. Lalu perawat masuk dan meminta saya berganti baju dengan gaun operasi dan tutup kepala. Rasanya deg-degan walaupun ini bukan yang pertama. Perawat lainnya kemudian datang dan membawa alat cukur untuk memeriksa area operasi. Namun karena saya sudah bersih-bersih dari rumah, tidak ada lagi yang perlu dibersihkan. Setiap kali saya diperiksa, suami dan anak saya dıminta menunggu diluar.
Sambil menunggu ruang operasi siap untuk saya, datang pula fotografer rumah sakit menanyakan apakah kami ingin diabadikan selama proses operasi dan setelahnya, dan kemudian ia menunjukkan contoh-contoh jepretannya. kami sabar mendengarkan penjelasannya dan kemudian kami menyatakan bahwa kami saat ini tidak menginginkan jasanya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 12.20, sudah terlambat dari jadwal operasi saya yang seharusnya pukul 12:00. Makan siang datang dan suami saya berusaha menyuapi anak sulung kami, ketika sekonyong-konyong bed khusus untuk pengantaran ke R. O datang dan saya pun berpindah berbaring keatasnya. Suami dan anak saya menghentikan aktifitasnya. Perawat menanyakan apakah saya biasa berjilbab sehari-hari? dan kemudian ia menutupi rambut saya dengan kain.
Sekeluarnya dari pintu ruangan menuju lift yang kebetulan tepat di samping pintu kamar saya-jadi bed-nya hanya perlu diputar saja, anak saya yang dipangku bapaknya mencium kening saja. Saya dan para perawat masuk ke dalam lift dan kami turun ke arah basement dimana R.O berada, dan keluar dari lift langsung masuk ke R.O, disorong ke meja operasi dan saya langsung berpindah lagi ke meja operasi dan diam di sana dalam keadaan duduk.
Dokter saya, Fatma Ersan, tak lama kemudian menampakkan dirinya terbalut dalam baju operasi dan tutup kepala senada. Tersenyum dan menanyakan apakah saya sudah siap. Saya mulai dibaringkan oleh para perawat R.O. Cairan infus saya diatur ditiangnya, demikian juga kateter untuk menampung air seni saya tanpa saya sadari sudah terpasang. Segala jenis bau obat khas ruang operasi dan suhu dinginnya, hanya bisa digambarkan oleh mereka yang pernah masuk kesana..
Anestesi disuntikkan di jalur IV saya dan para perawat mengucapkan "Selamat Tidur!" lalu gelap dan saya tidak ingat apa-apa lagi...Ketika saya bangun, saya merasakan kesibukan yang luar biasa di sekeliling saya, rasa aneh dan akhirnya saya membuka mata. "Lia, apakah kamu sudah bangun?", tanya dokterku. "kamu mengalami pendarahan hebat dan mugkin kami terpaksa harus memgambil rahimmu" lanjutnya. Aneh aku tidak merasa terkejut ataupun takut, namun tetap kujawab "Jangan, dok.."..
Comments
Post a Comment