Manis dan mungil, langkahnya ringan walau harus membopong bayi 10 bulan dalam pangkuannya. Ketika tersenyum nampak gigi depannya agak sedikit maju namun malah menambah manis parasnya. "Sera", nama bayi perempuan montok itu, pun berwajah senada dengan ibunya, seakan lebih Asian ketimbang Turkish.
Kami semua bergumam "maşallah" memandang wajah si bayi molek yang ditidurkan diatas bantal yang dibawakan mertuaku. Si Ibu muda yang bangga semakin bercahaya. Tak lama kami kaum perempuan terlibat obrolan seru di gang antara dapur dan kamar yang cukup mendapat angin sejuk untuk mengobati panasnya cuaca bulan juli di Laut tengah.
"Bayram ini kamu sudah telepon Anne?" tanya mertuaku. "Sudah, bahkan bulan ramadhan ini sering sekali aku menelpon" jawabnya. "Yah jadinya Anne terpaksa sering berbohong kalau Baba tanya, jawabnya telepon dari komşu-lah, dari si inilah si itu-lah.." Katanya seraya memperbaiki posisi yazma-nya yang diikatkan di belakang leher. Kemeja biru donkernya terkancing hingga leher berpadu skinny jeans khas anak muda pada umumnya.
Begitu pertanyaan demi pertanyaan dari mertua dan "görümce"-ku dijawabnya dengan penuh ceria dan wajah berbinar penuh rona bahagia. Sesekali diapun mengagumi bayiku yang waktu itu baru berumur 6 bulan. Tanpa harus banyak bertanya aku lalu mengerti dan menyimpulkan. Inilah si wanita muda menantu kerabat kami, D Teyze. Kebetulan ketika tahun lalu kami pulang kampung, kami sempat ke rumah D Teyze untuk silaturahmi dan melihat foto-foto cucunya yang baru lahir-kini 10 bulan ini.
Kabur dari rumahnya untuk menikah dengan lelaki sepupu kami ini, yang saat itu mengobrol di ruang tamu dengan anak-anak lelaki mertuaku. Semua terjadi tatkala ayahnya tak mengizinkannya untuk menikah dengan kekasihnya yang kini suaminya itu.
"Elti"-ku bangkit untuk menyajikan kopi untuk kamu pria dan kemudian kembali dan mengobrol lagi ngalor ngidul seakan "all is well", "happily ever after", atau entah terminology apalagi untuk mensyahkan semuanya begitu mulus dan lancar tanpa ada hati yang tersakiti, tanpa adanya harga diri yang tergores.
Sesaat ketika mereka pulang dengan dibekali permen-permen coklat dari nampan khas hari raya, Elti-ku bercerita bahwa dia dan suaminyalah yang menjadi saksi pernikahannya ketika itu, suatu hari di musim panas dua tahun lalu. Berceritalah ia tentang hidup mereka yang mapan dengan rumah dan mobil pribadi, walau suaminya yang berprofesi fotografer baru berusia awal 30 dan ia sendiri baru menginjak 24 ketika menikah, kini tidak bekerja-dulu kasir di supermarket.
Tinggallah aku yang tercenung tanpa sanggup mencerna, menyepi dalam relung hati sambil berupaya menelan realitas yang absurd bagiku.Kutatap wajah Miss Tjitjihku. Nak, berbahagialah tanpa membuat orang lain terutama ayahmu tidak berbahagia..
Istanbul, 30 Agst 2016Untuk #wanita
Comments
Post a Comment