Bagaimana Aku Bertahan di Tanah Ini (2)

Sebelum menikah aku sudah tahu kondisi ekonomi calon suamiku yang pas-pasan dan apa adanya. Namun kelebihannya adalah semua adalah hasil usahanya, dan tidak ada bantuan ataupun campur tangan keluarganya. Kami tidak membuat pesta pernikahan kedua di Turki, tidak seperti kebanyakan kawan-kawan yang menyelenggarakan pesta dua kali, satu di Indonesia dan satu lagi di turki.

Setelah menikah, suamiku pulang ke Istanbul dan aku masih di Jakarta selama 3 bulan untuk kemudian aku resign dan menyusul pindah ke Istanbul. Selama itu aku mencari penyewa rumahku yang di Cibinong, dan membereskan urusan kantor, juga sedikit atau banyak lumayan menambah penghasilan dari gajiku selama 3 bulan tersebut.

Di Istanbul suamiku pindah rumah sewa, dan membeli furniture untuk isi rumah secara sederhana. Ketika aku sampai ke Istanbul, sudah ada seperangkat sofa, meja-kursi makan, isi kamar tidur, kulkas dan mesin cuci. Piring-gelas hanya ada beberapa buah saja. Aku ingat sewaktu teman-temannya ke rumah, kami mendadak membeli piring-gelas dan gelas-gelas teh.

Awal hidup rumahtangga kami cukup sulit karena tanpa restu keluarga suami, walau mereka tidak menunjukkannya secara langsung. Hingga 5 bulan setelah menikah, barulah kami mudik ke kota suami, Alanya untuk bertemu dengan keluarganya. Waktu itu aku sudah hamil sekitar 6 minggu. Rasanya lemas luar biasa menanggungkan perjalanan dengan bis selama 15 jam dan kemudian bertemu dengan keluarga yang masih asing bagiku dan bahasa yang tidak kumengerti.  

Aku menurut saja untuk memakai pakaian yang mereka berikan, yaitu şalvar dan yazma. Şalvar  ialah celana kulot sangat gombrong yang terbuat dari katun berbunga-bunga. Mungkin sangat norak bagi sebagian orang yang tidak terbiasa memakainya. Yazma  adalah kerudung dari katun berbunga-bunga yang pinggirnya dihiasi renda.

Inilah Şalvar!

Comments